Pelajaran Setahun S3
Melbourne,Gak terasa sudah satu tahun saya jadi mahasiswa S3. Berikut adalah pelajaran selama setahun terakhir ini.
Gak ada persiapan yang cukup untuk menghadapi S3. Sebaik apapun kita pikir persiapan yang sudah kita lakukan, kenyataan di lapangan bakal menampar kita dengan keras. Soalnya, S3 ini sangat jauh berbeda dengan jenjang pendidikan sebelumnya, termasuk pendidikan tinggi seperti S1 atau S2. Dalam kedua jenjang tersebut, mayoritas masa studi bukan berisi kegiatan penelitian, tapi lebih ke belajar mengajar di kelas, dan diselingi tugas dan ujian. Skema pembelajaran seperti ini sudah akrab dari jenjang SD hingga SMA. Tugas dan ujian meskipun susah, keduanya (harusnya) tetap bisa dikerjakan dengan materi yang diberikan. Gampangnya, semua yang keluar di tugas atau ujian (harusnya) jawabannya bisa dicari di buku teks atau materi kuliah. Komponen penelitian kalaupun ada, biasanya adanya di akhir studi sebagai tugas akhir, dan itu pun singkat, mungkin 6 bulan untuk S1 atau 3-12 bulan untuk S2. Ini beda banget dengan S3 yang seluruhnya adalah penelitian. Dalam penelitian, apa yang kita teliti gak ada jawabannya di buku teks atau pelajaran di kelas (kalau ada buat apa diteliti ya kan?). Jadi, menghadapi penelitian gak bisa sama caranya dengan menghadapi kegiatan belajar biasa yang kita sudah akrab banget. Inilah salah satu alasan utama kenapa kita gak akan siap dengan S3. Pengalaman penelitian di S1 atau S2 tentunya akan membantu, namun skalanya tetap beda. Bayangkan seperti skripsi, tapi 6-8 kali lipat lebih panjang dan susah. Seperti itulah kira-kira S3.
Kegigihan adalah kunci. Dalam penelitian, kegagalan adalah keniscayaan. Ia datang bertubi-tubi tak kenal ampun sampai kita bertanya-tanya sebenarnya kita pantas gak sih di sini?. Hanya kegigihanlah yang bisa bikin kita bangkit lagi dan lagi tanpa patah semangat. Banyak yang beranggapan kalau seseorang pintar secara akademik, maka S3 akan mulus-mulus saja. Anggapan ini seperti mengesankan bahwa kepandaian adalah komponen utama dalam kesuksesan seseorang dalam menempuh S3. Sayangnya kenyataannya gak begitu. Keunggulan dalam sisi akademik meski berperan, bukan merupakan faktor terpenting. Soalnya, kekurangan di sisi akademik bisa diatasi dengan belajar mandiri atau ikut kelas yang memang lazim dilakukan pada tahun pertama S3. Faktor terpenting justru kegigihan, kemampuan untuk terus bangkit dari setiap kegagalan. Ini lebih sulit dipelajari kecuali dari pengalaman. Justru, S3 bisa jadi terasa lebih sulit bagi orang-orang yang berprestasi secara akademik karena belum terbiasa dengan kegagalan.
Jangan nilai diri dari penelitian yang dikerjakan. Maksudnya, lancar tidaknya penelitian yang dikerjakan jangan sampai memengaruhi kita dalam menilai diri sendiri. Ini kontraproduktif karena, seperti yang sudah disebut, kita akan sering banget gagal. Jadi, kalau kita menilai diri sendiri buruk karena kegagalan-kegagalan tersebut, hidup akan terasa sangat berat. Lama kelamaan, ini bakal berpengaruh buruk pada kesehatan mental kita, dan akhirnya pada produktivitas kita juga. Penilaian diri seperti ini juga secara prinsip gak benar karena sesungguhnya kita lebih dari sekedar penelitian yang kita kerjakan. We are more than just our research. Kenapa? Karena sejatinya setiap dari kita punya berbagai peran dalam hidup. Selain mahasiswa S3, kita juga berperan sebagai anak dari kedua orang tua kita, misalnya. Sebagian dari kita juga berperan sebagai kakak atau adik bagi saudara kita. Sebagian yang lain yang sudah berkeluarga, juga berperan sebagai suami atau istri, dan mungkin juga orang tua bagi anak-anaknya. Dan masih banyak lagi peran yang kita mainkan dalam hidup. Oleh karena itu, pandangan yang lebih tepat adalah: kita adalah gabungan dari semua peran-peran yang kita mainkan. Kalaupun ada peran yang sedang terkendala dan tidak berjalan dengan baik, itu tidak mengurangi nilai diri kita karena masih ada peran-peran lainnya.
Jangan pernah membanding-bandingkan diri dengan mahasiswa S3 lainnya. Perjalanan S3 setiap orang itu unik. Setiap orang memulai S3-nya dengan latar belakang dan privilege yang berbeda-beda. Pengalaman seorang mahasiswa S3 yang sudah berkeluarga misalnya, bakal jauh beda dengan yang belum. Apalagi pengalaman menjalani S3 di tengah pandemi seperti sekarang ini. Tantangannya sudah pasti jauh beda dan gak akan pernah adil dibandingkan. Seadil-adilnya perbandingan hanyalah dengan diri sendiri. Jadi, cukup bandingkan diri sendiri hari ini dengan hari kemarin, sebulan yang lalu, atau setahun yang lalu. Selama ada kemajuan, itu sudah cukup.
Jeda itu penting. Jeda di sini maksudnya waktu kosong di mana kita bebas dari kerjaan penelitian. Akan ada saat-saat kita merasa perlu ada jeda sebentar karena berbagai alasan. Mungkin kita perlu jeda untuk pulih dari kegagalan. Bisa jadi juga untuk merayakan kesuksesan-kesuksesan kecil (mis. eksperimen berjalan sesuai harapan). Atau yang sering terjadi, kita perlu jeda karena terbentur suatu masalah dan rasanya sudah buntu. Perasaan seperti ini wajar dan perlu dihiraukan ketika ia muncul. Kita boleh banget berhenti mengerjakan penelitian sejenak kalau memang diperlukan. Sayangnya, seringkali perasaan ini dibarengi dengan rasa bersalah karena tidak adanya produktivitas. Buang jauh-jauh rasa bersalah itu, dan yakinkan diri kalau kita berhenti sejenak untuk maju lebih jauh lagi nantinya. Tentunya pastikan juga berhentinya gak kelamaan.
Ketidaktahuan adalah hal yang wajar. Ada anggapan bahwa mahasiswa S3 itu mestinya tahu segalanya. Akibatnya, kalau ternyata ada hal yang tidak kita ketahui, kita jadi meragukan kelayakan diri sendiri. Pantes gak sih saya S3? Anggapan ini jauh dari kebenaran. S3 pada intinya adalah belajar bagaimana menjadi seorang peneliti. Jadi, ketidaktahuan adalah lazim. Namanya juga belajar. Yang terpenting adalah bagaimana kita tahu apa yang tidak kita ketahui dan mau belajar. Jangan pernah malu bertanya, terutama pada pembimbing kita. Justru di saat inilah kita seharusnya paling dimaklumi untuk tidak tahu dan bertanya, kan masih belajar.
S3 hanyalah permulaan. S3 gak perlu menghasilkan penelitian yang menggemparkan. Selama penelitian kita dapat dipertanggungjawabkan metodologinya, dan hasilnya mengisi kekosongan dari penelitian-penelitian sebelumnya, maka itu sudah cukup. Selain itu, S3 sebenarnya adalah proses inisiasi sebelum terjun ke dunia penelitian yang sesungguhnya setelah kelulusan. Satu kutipan anonim yang relevan: a good dissertation is finished, a great dissertation is published, a perfect dissertation is neither. Jadi, daripada terlalu serius mengejar kesempurnaan penelitian yang mana adalah suatu kemustahilan, utamakan menyelesaikan penelitiannya dan nikmati perjalanannya!
Penting untuk bisa mengeksekusi berbagai ide dengan cepat. Poin ini mungkin lebih relevan dengan penelitian yang empiris. Perlu disadari bahwa sebagian besar ide penelitian akan gagal. Jadi, lebih baik gagal secepatnya sehingga bisa lanjut ke ide berikutnya. Untuk mencapai ini, penguasaan tools adalah suatu keharusan, begitu juga dengan persiapan infrastruktur untuk menjalankan eksperimen. Oleh karena itu, di awal, kita perlu mengalokasikan waktu yang cukup untuk memastikan bahwa kita betul-betul menguasai tools yang diperlukan, dan infrastruktur sudah siap. Saat ini dilakukan, mungkin ada perasaan bahwa kita sepertinya tidak ada kemajuan, tapi ini salah. Apapun yang dilakukan pada tahap ini adalah kemajuan karena tujuan akhirnya adalah membuat hidup jadi lebih mudah saat menjalankan eksperimen.