Mengapa Saya Memilih NLP?

Akhir Desember lalu, ada sesi wawancara akhir tahun yang diselenggarakan oleh bagian SDM di kantor saya. Pada wawancara ini, saya diberikan pertanyaan-pertanyaan seperti: apa yang disukai selama bekerja, adakah saran perbaikan, dan sejenisnya. Saya tidak ingat persisnya tapi pada sesi itu saya sempat membicarakan tentang pengolahan bahasa manusia/natural language processing (NLP), bidang ilmu yang saya tekuni saat ini. Pewawancara saya waktu itu menanyakan kenapa saya kok antusias sekali dengan NLP. Ada beberapa alasan yang saya kemukakan, dan itulah yang saya akan tuliskan di sini.

Takdir?

Saat menempuh pendidikan sarjana, dari semua kuliah peminatan yang saya ambil, kuliah NLP-lah yang saya rasa paling saya kuasai. Akibatnya, sewaktu magang pun saya bekerja sebagai asisten riset junior di sebuah lab riset di bidang NLP. Saat itu saya ditugaskan untuk melakukan beberapa eksperimen untuk mengembangkan sistem penerjemah otomatis dari bahasa Inggris ke bahasa Mandarin. Di akhir kuliah S1, saya mengambil mata kuliah tugas akhir alias skripsi. Saat itu ada dua kandidat dosen pembimbing yang saya incar. Satu orang dosen ini bidangnya robotika dan satu lagi NLP. Karena saya tidak pernah mengambil kuliah robotika sama sekali, adalah pilihan yang logis bagi saya waktu itu untuk memilih dosen NLP ini sebagai pembimbing. Akhirnya saya pun mengambil skripsi dibimbing oleh beliau dan topiknya pun tidak jauh dari NLP (deteksi tulisan off-topic secara otomatis).

Saat studi S2 lalu saya mencoba untuk memilih spesialisasi bukan NLP, yakni pembelajaran mesin/machine learning (ML). Saya mengambil semua mata kuliah pokok untuk spesialisasi tersebut. Meski demikian, masih ada sisa beberapa SKS yang bisa saya gunakan untuk mengambil kuliah lainnya. Saya berpikir untuk mengambil mata kuliah yang berisi aplikasi dari ML. Ada banyak kandidat, misalnya computer vision dan robotika. Tentu saja NLP termasuk salah satunya. Saya sebenarnya sempat galau mau memilih yang mana. Namun, pada akhirnya saya ingat nasihat dari dosen pembimbing skripsi saya yang isinya kira-kira begini: kalau kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang semuanya kita sukai, ambillah pilihan yang paling siap tersedia hadir di hadapan kita. Bagi saya, NLP-lah pilihan itu.

Setelah kuliah usai, tibalah saatnya pemilihan topik untuk penulisan tesis. Kebetulan banyak sekali pilihan topik dalam bidang NLP waktu itu. Karena saya juga sudah mengambil kuliah-kuliahnya dan saya tidak merasa cukup percaya diri untuk mengambil topik ML murni yang semuanya terdengar sulit, saya pun memilih pilihan-pilihan topik NLP. Akhirnya saya pun mendapatkan topik tentang penguraian sintaks (syntactic parsing) dan berhasil menyelesaikan tesis saya dengan baik.

Melihat kembali pilihan-pilihan yang saya ambil ini, jalur menuju NLP rasanya sudah takdirnya saja. Saya tidak ngotot memilih NLP, tapi karena kesempatannya terbuka begitu saja di depan mata, jadilah saya ambil.

Kunci untuk Menaklukkan Kecerdasan Buatan

Alasan kedua, saya percaya bahwa dengan menaklukkan bahasa lewat NLP, kita akan semakin dekat dengan tercapainya kecerdasan buatan. Ada dua pemikiran yang melandasi alasan saya ini. Pemikiran pertama berlandaskan pada keyakinan saya bahwa bahasa adalah cermin kecerdasan. Pemikiran kedua adalah bagaimana bahasa adalah perwujudan kecerdasan manusia yang unik.

Menurut saya, kemampuan berbahasa itu cerminan kecerdasan sesorang. Seseorang yang pandai berbahasa, mahir memilih dan menyusun kata-kata sehingga mampu menyampaikan maksud dengan tepat, apalagi sampai berhasil meyakinkan orang lain, adalah orang yang cerdas. Oleh karena itulah, jika kita berhasil menciptakan mesin yang pandai berbahasa, maka kita sudah sangat dekat dengan terciptanya kecerdasan buatan.

Pemikiran kedua, saya dapatkan inspirasinya dari dosen saya di Edinburgh dulu. Beliau mengatakan bahwa bahasa adalah ciptaan manusia yang unik, berbeda dengan ciptaan lainnya. Saya memahami pernyataan ini kira-kira begini. Ciptaan manusia lainnya seperti lukisan, kendaraan, atau gawai yang canggih, semuanya menampilkan kecerdasan umat manusia. Namun, ciptaan-ciptaan ini punya wujud yang nyata, atau merupakan tiruan dari benda nyata yang ada di alam. Bandingkan ini dengan bahasa yang hanya hidup dalam otak manusia. Rangkaian simbol-simbol yang kita sebut huruf ini sebenarnya kalau dipikir-pikir hanya coretan-coretan saja. Begitu juga suara yang kita keluarkan ketika berbicara, kalau dipikir-pikir hanya bunyi-bunyian tak ubahnya bunyi-bunyian lain seperti suara jangkrik atau burung. Namun, otak kita mampu memproses rangkaian simbol-simbol dan bunyi-bunyian ini dan memberikannya makna. Menariknya, makna ini hanya ada di dalam otak kita! Saya tertegun sekali ketika pertama kali pemikiran saya sampai ke sini. Mungkin apa yang dimaksud dosen saya waktu itu bukanlah apa yang saya utarakan barusan, saya tidak tahu pasti, tapi inilah yang saat ini saya yakini.

Kedua pemikiran di ataslah yang membuat saya beranggapan bahwa bahasa adalah kunci menuju kecerdasan buatan.

Akses dan Kesempatan bagi Orang Banyak

Alasan ketiga ini lebih mengandung unsur sosial dibandingkan dua alasan sebelumnya. Di era informasi ini, saya merasa akses ke teknologi dan informasi sangat penting untuk memperoleh kesempatan. Orang-orang yang punya akses ke teknologi atau banyak informasi dapat menemukan lebih banyak kesempatan untuk bekerja, berkarya, dan meningkatkan taraf hidup. NLP, yang salah satu tujuannya adalah menjembatani komunikasi antara manusia dengan mesin, dapat memungkinkan teknologi dan informasi diakses oleh orang-orang di seluruh dunia, tidak peduli apapun bahasa yang digunakan. Salah satu contoh konkret mungkin sistem penerjemah otomatis seperti Google Translate. Bayangkan berapa banyak informasi yang jadi bisa diakses oleh orang-orang Indonesia ketika sistem ini mampu menerjemahkan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan baik. Bayangkan berapa banyak kesempatan yang terbuka akibat adanya akses informasi ini!

Selain itu, adanya dukungan dari teknologi untuk bahasa-bahasa selain bahasa Inggris, terutama bahasa-bahasa dengan jumlah penutur yang relatif sedikit, sangat penting. Tidak adanya dukungan untuk bahasa tertentu memberikan pesan bahwa partisipasi penutur-penutur bahasa tersebut dalam teknologi tidaklah penting. Dengan kata lain, para praktisi teknologi secara tidak langsung berkata bahwa mereka tidak membutuhkan penutur-penutur bahasa tadi berpartisipasi dalam penggunaan teknologi mereka. Tentunya ini bukan pesan yang baik yang ingin disampaikan, bukan? NLP dapat memungkinkan terwujudnya dukungan untuk bahasa-bahasa ini.

Kesimpulan

Ketiga alasan di atas tadi adalah alasan-alasan mengapa saya sekarang bisa berakhir dan antusias sekali dengan NLP. Bagi Anda, beberapa alasan mungkin tidak begitu nyambung, terkesan dipaksakan, atau jelas-jelas tidak masuk akal. Tidak masalah bagi saya, karena alasan-alasan ini pun bukan dilandaskan pada pemikiran yang matang, cuma hasil mikir-mikir ngelantur gak karuan saja. Tidak perlu ditanggapi dengan terlalu serius. :-)